Follow me on Twitter RSS FEED

cerpen

Posted in

Surat, Cinta, dan Doa
karya Novia Nur ‘Aini

Hitam, kelam, dingin, sunyi dan tenang itulah gambaran malam ini. Kilauan bintang yang bertaburan menambah kesendirian seorang gadis di tengah lamunannya. Anggun itulah namanya, Assyifa Anggun Medina nama lengkap gadis ini. Dalam tatapan kosongannya  ia menopangkan dagu di tangannya yang terletak di atas meja belajarnya. Anggun tak sendiri di kamar asramanya tapi ia hanya bagaikan seorang diri di sana, karena Anna  teman sekamarnya telah terbang jauh sejauh mimpinya malam itu.
“Ya Allah, aku tak tak tahu dengan diriku ini. Ada apa dengan perasaan ini ? apa aku hanya mengaguminya. Aku masih belum mengerti hati ku ini. Apa aku salah memiliki perasaan ini Allah?” gumam Anggun di tengah lamunannya. Dari 3 hari yang lalu ia masih berkelahi dengan hatinya sendiri. Perasaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Umurnya memang sudah 17 tahun, dimana saatnya remaja yang lain sudah berkali kali merasakan persaaan lain terhadap lawan jenis. Tapi bagi Anggun ini yang pertama kalinya ia merasa begini.
Bagaimana tidak, ia seorang gadis muslimah yang taat beribadah, rajin, pintar, dan memiliki tujuan akhirat dalam hidupnya kadang tak sempat ia memikirkan hal hal yang begitu. “Ya Allah aku tak mungkin menggantikan posisi teratasMu di hatiku” Anggun mencoba meyakinkan dirinya. “Tapi Tuhan aku juga manusia biasa yang  Kau berikan perasaan untuk saling mengasihi dengan yang lain. Tak mungkin rasanya aku ceritakan kepada yang lain tentang hal ini, selain hanya kepadaMu” gelisahnya. Malam semakin larut, mata Anggun pun sudah tak kuat lagi untuk dibuka. Ia merangkak beranjak dari meja ke tempat tidurnya.
₪₪₪

Matahari telah merangkak naik ke atas langit  biru pagi ini. Pesantren Al-Hidayah pun sudah memulai pelajarannya. Ustadz Yusuf telah memulai kajian kepada santri santrinya termasuk Anggun yang saat ini tengah bermenung sesekali melirik Ryan, seorang cowok yang telah membuat hatinya tak karuan belakangan ini. Kini Anggun mencoba focus pada pelajarannya, ia berusaha memperhatikan Ustadz Yusuf. Tapi, sesekali wajah Ryan tetap saja melintas di benaknya.
“Teeeeeet teeeeeeeeeet !” tanda jam pelajaran pun berakhir. Semua santri keluar kelas termasuk Anggun dan Anna. Mereka mulai menuju kantin untuk mengisi perutnya yang sudah berbunyi sejak tadi. Sesampainya di kantin, ia melihat Ryan yang membelakanginya. Memang hanya punggung yang tegap yang bisa dilihatnya. Ryan dalam diamnya, tenangnya dan kesederhanaannya menyambut seorang gadis, Lisa adik kelas kami. “Lisa kamu tidak kebagian tempat duduk ? silahkan duduk disini saja” Ryan mulai beranjak dan memberikan kursinya kepada gadis yang terlihat lemah itu. Mungkin itulah salah satu hal yang paling disukai Anggun dari Ryan. Ia orang yang sangat menghargai wanita.
Ryan mulai beranjak menjauhi kantin, ia menuju ke kelas. Di kelas tak terlihat seorang pun, ia melirik ke sebuah tas yaitu tas Anggun. Ia mulai berpikir dan mengarah ke tasnya sendiri. Ia mengeluarkan sebuah amplop biasa tanpa aksen yang berlebihan. Di pojok kiri surat itu hanya tertulis untuk Anggun. Melirik ke kanan ke kiri ia mulai memasukkan amplop itu ke dalam tas Anggun. Setelah memasukkannya ia pun berlalu menjauhi tas Anggun.
Hari beranjak sore, matahari pun sudah mulai turun. Waktu untuk beristirahat pun dating setelah seharian belajar untuk para santri ini. Beristirahat di kamar masing masing adalah hal yang paling menyenangkan bagi para santri. Tanpa televise, internet, atau alat komunikasi yang sudah lumrah pun (hp) mereka tidak di perbolehkan ada pada masing masing mereka. Jika ingin menghubungi orang tua mereka, hanya bisa menggunakan telephone yang ada di lantai 1.
Seperti biasa Anggun mulai duduk di meja belajarnya malam ini, ia mengeluarkan buku dari dalam tasnya hendak mengulang pelajaran. Tapi, seketika ia terhenti ketika melihat sebuah surat dalam tasnya. “surat apa ini? Punya siapa?” gumam Anggun sambil melihat lihat surat tersebut. Perlahan lahan ia mulai membuka surat tersebut dan membacanya.
Untuk Anggun
Bismillahirrahmanirrahim
( Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)

Waktu yang tak bisa ditebak
Semua  hanya rahasia Mu Ya Allah
Termasuk rahasia hati
Bukan ku bermaksud untuk menduakan Mu di hati ini
Tapi bunga ini telah tumbuh
Karena dia, dengan izinMu

Karunia hati dan perasaan yang Kau berikan kepadaku
Izinkanlah aku untuk menyirami,
memupuk dan menjaga bunga ini

Dan kutitipkan cinta dalam doa ku ini Ya Allah
Pada seorang gadis yang InsyAllah gadis yang baik dan shalehah…..
Ryan


Itulah seucap surat yang Ryan berikan untuk Anggun. Anggun hanya diam tersenyum malu membacanya. “Apa aku harus membalas surat ini? Tapi apa yang harus ku balas?” pikirnya dalam hati. Anggun mulai meraih pena dan menggoreskan sebuah kata di secarik kertas. Dan ia pun membalas surat yang diberikan Ryan. Ia mengungkapkan apa yang dirasakannya.
Esok paginya pun, Anggun meletakkan suratnya di dalam tas Ryan dengan diam diam tanpa ada seorang pun yang tahu. Begitu selanjutnya, mereka saling berbagi, bertukar pikiran dan berkomunikasi lewat surat. Memang cara ini agak terlihat kuno pada remaja zaman sekarang. Tapi, mau bagaimana lagi mereka tentu tidak bisa secara terang terangan mengungkapkan perasaan mereka. Mereka berada dalam satu pondok pesantren yang tidak mengizinkan untuk berpacaran atau semacamnya.
Surat menyurat ini terus berlangsung tanpa ada yang mengetahuinya. Tapi, kini surat mereka sudah berubah. Biasanya di ujung surat selalu tertulis nama Anggun atau Ryan, nama kepada siapa surat diperuntukkan. Tapi, sekarang mereka tidak lagi membuat identitas tujuan ataupun pengirim surat karena sudah sama sama tahu untuk siapa dan dari siapa surat tersebut.
“Anak anak letakkan semua tas dan barang barang kalian di atas meja. Kita ada inspeksi mendadak agar kalian tidak memiliki hal hal yang tidak diinginkan” Ustadz Yusuf memerintah sambil berjalan memasuki ruang kelas. Ustadz Yusuf pun mulai memeriksa tas santri santrinya dengan teliti, termasuk tas Anggun yang terdapat surat dari Ryan. Ustadz Yusuf mendapatkan surat tanpa identitas itu dan membacanya. Seketika Ustadz Yusuf kaget dan terlihat marah. “Anggun apa ini? Kamu ikut saya ke kantor !” Ustadz Yusuf menyuruh Anggun mengahadapnya untuk menjelaskan perihal surat tersebut.
Anggun pun pergi mengahadap Ustadz Yusuf dengan rasa cemas. “Anggun tolong jawab dengan jujur, surat ini punya siapa?” Tanya Ustadz yang terlihat sedikit emosi. “Punya saya Ustadz” jawab Anggun lemah tertunduk. “Anggun liat saya dan jawab yang sejujurnya” Ustad Yusuf kembali bertanya. “Iya Ustadz itu punya saya” Anggun meyakinkan. Tapi tetap saja Ustad Yusuf tidak percaya, sudah berapa kali Anggun menjawab iya, Ustadz Yusuf tetap tidak percaya. Tulisan di dalam surat yang terlihat tidak seperti tulisan seorang anak perempuan yang membuat Ustadz Yusuf tidak mempercayainya.
“Ya Allah apa yang harus ku perbuat?” tanya Ryan dalam hatinya yang gelisah. Ia mengetahui semua kejadian itu, tak ingin membiarkan Anggun menanggungnya sendiri. Ia pun berlari menuju ruangan Ustadz Yusuf. “Assalamua alaikum Ustadz, ada yang ingin saya katakan mengenai surat itu” kata Ryan menghampiri Ustadz Yusuf. “Silahkan Ryan” jawabnya. Ryan pun mengaku kalau surat itu adalah punya nya, bukan milik Anggun. Anggun bukan orang bersalah. Ia akui semuanya demi melindungi orang yang dicintainya. Ia tak ingin nantinya anggunlah yang menerima hukuman.
“Tidak Ustadz, itu milik saya” sanggah Anggun. Ia tak ingin pula nantinya Ryan yang menanggung semuanya. “Tidak Ustadz, ini memang punya saya” sanggah Ryan. “Tidak Ustadz !” Anggun kembali meyakinkan. Mereka berdua terus sama sama meyakinkan Ustadz Yusuf kalau merekalah yang bersalah. Ustadz Yusuf pun mulai bingung siapa yang bersalah. Ia pun memutuskan Ryan lah yang harus dihukum. Karena mempertimbangkan Anggun  adalah seorang perempuan yang tak seharusnya disakiti.
Ryan pun dipukul dengan tongkat yang terlihat sedikit kuat dan dibotakkin, sesuai hukuman yang telah berlaku di pesantren. “Auu, auu” sesekali ia merintih kesakitan akibat pukulan. Ia hanya bisa menahan sakit dan perih. Badannya yang semula putih mulus sekerika berubah menjadi merak bak selai stroberi yang dilumuri di atas roti. Ia rela dipukuli beberapa kali demi melindungi gadis yang disayanginya. Anggun hanya terdiam dan meneteskan air mata melihat kejadian seperti itu. Kenapa harus laki laki itu yang menerima semua hukuman tersebut, sedang ia tak bisa menolognya.
 Setelah kejadian hari itu, Anggun dan Ryan pun dilarang untuk bertemu lagi. Mereka hanya bisa bertemu saat jam pelajaran dan hanya berdiam. Hari hari tanpa surat pun berlalu mulai saat itu. Terkadang saat mereka bertemu atau berpapasan, mereka hanya tersenyum. Begitulah kehidupan mereka tanpa berkomunikasi lagi.
₪₪₪
Hari kian beranjak malam, Anggun mulai membereskan semua barang barangnya yang berantakan di atas meja. Semua barang tersebut ia masukkan ke dalam laci meja belajarnya yang lumayan luas. Ia terdiam saat melihat sebuah amplop putih yang berlogokan sebuah jasa penerbangan. Diambilnya dan dilihatnya isi amplop itu, ya isinya tentu saja sebuah tiket perjalanan ke luar negeri.
Setelah melihatnya, ia pun memasukkannya kembali. “Ya Allah, harinya sudah semakin dekat aku akan meninggalkan semuanya, memang tidak untuk selamanya tapi tentu untuk waktu yang lama” gundahnya dalam hati. “Ya Tuhan jika aku tak bisa meraihnya, izinkan saja aku untuk menitipkan cintaku dalam doa ini” air mata mulai jatuh ke pipinya.
Hari di saat Anggun akan berangkat pun tiba. Ia akan menuntut ilmu ke Kairo, Arab Saudi untuk satu tahun ini, karena memang sudah jauh jauh hari ia mendapat beasiswa sebagai siswa berprestasi. Di hari itu pun mereka tak bisa bicara banyak, Ryan hanya mengucapkan sampai jumpa atas nama teman temannya yang lain.
₪₪₪
Anggun, Anggun, dan Anggun, itulah kata kata yang selalu digarisi Ryan dalam setiap novel yang dibacanya.  Seperti kalimat ‘gadis itu berjalan dengan anggunnya’ , setiap terdapat kata kata anggun ia akan menggarisi kata anggun tersebut dengan stabilo. Memang terlihat seperti orang bodoh, tapi itulah Ryan.
Kini Anggun telah pergi menggapai cita citanya, dan Ryan pun terus menggapai cita citanya dengan tetap bersekolah di pesantren meski tanpa Anggun. Ia tak kan terus terpuruk, meski takdir belum menyatukannya dengan Anggun. Ryan hanya bisa menunggu, menanti, bersabar dan berdoa, walaupun ia tak tahu entah kapan ia akan bertemu Anggun lagi. “Ya Allah semua ini mungkin takdirMu untukku. Aku hanya bisa menitipkan cintaku padaMu lewat doa ini. Semoga hati ini bisa terjaga” itulah sepotong kalimat dari doa Ryan.

 THE END



0 comments:

Post a Comment